Selasa, 26 Mei 2015

KOMPONEN-KOMPONEN BELAJAR MENGAJAR



KOMPONEN-KOMPONEN BELAJAR MENGAJAR

Kegiatan belajar mengajar mengandung sejumlah komponen yang meliputi tujuan, bahan pelajaran, kegiatan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, alat dan sumber, serta evaluasi.
A.    Tujuan
Tujuan merupakan suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan pembelajaran. Tidak ada suatu pembelajaran yang diprogramkan tanpa tujuan, karena hal ini merupakan kegiatan yang tidak memiliki kepastian dalam menentukan arah, target akhir dan prosedur yang dilakukan.
            Tujuan dalam pendidikan dan pengajaran merupakan suatu cita-cita yang bernilai normatif. Sebab dalam tujuan terdapat sejumlah nilai yang harus ditanamkan kepada anak didik. Nilai-nilai itu nantinya akan mewarnai cara anak didik bersikap dan berbuat dalam lingkungan sosial, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
            Tujuan mempunyai jenjang dari yang luas atau umum sampai kepada yang sempit/khusus. Semua tujuan itu berhubungan antara satu dengan yang lainnya, dan tujuan di atasnya. Bila tujuan terendah tidak tercapai, maka tujuan di atasnya tidak tercapai pula. Hal ini disebabkan tujuan berikutnya merupakan turunan dari tujuan sebelumnya. Dengan ini diartikan bahwa dalam merumuskan tujuan, maka kita harus benar-benar memperhatikan kesinambungan setiap jenjang tujuan pendidikan dan pengajarnya. Oleh karena itu, guru dalam melakukan pengajaran, sekalipun hanya berupa sub materi bahan ajar, tidak boleh terlepas dari konteks tujuan sebelumnya.
            Lebih spesifik Roestiyah (1989), berpendapat bahwa suatu tujuan pengajaran merupakan deskripsi tentang penampilan perilaku (performance) anak didik yang diharapkan setelah mempelajari bahan pelajaran tertentu. Suatu tujuan pengajaran dan bukan sekedar proses dari pengajaran itu sendiri
B.     Bahan Pelajaran
Bahan/materi merupakan medium untuk mencapai tujuan pengajaran yang “dikonsumsi” oleh peserta didik. Bahan ajar merupakan materi yang terus berkembang secara dinamis seiring dengan kemajuan dan tuntutan perkembangan masyarakat. Bahan ajar yang diterima anak didik harus mampu merespons setiap perubahan dan mengantisipasi setiap perkembangan yang akan terjadi di masa depan. Oleh karena itu, bahan pelajaran menurut Suharsimi Arikunto (1990), merupakan unsur inti yang ada di dalam kegiatan belajar mengajar, karena memang bahan pelajaran itulah yang diupayakan untuk dikuasai oleh anak didik. Karena itu pula, guru khususnya, atau pengembangan kurikulum umumnya, harus memikirkan sejauh mana bahan-bahan atau topik yang tertera dalam silabus berkaitan dengan kebutuhan peserta didik di masa depan. Sebab, minat peserta didik akan bangkit bila suatu bahan diajarkan sesuai dengan kebutuhannya.
            Maslow, sebagaimana dikutif dari Sudirman (1988), berkeyakinan bahwa minat seseorang akan muncul bila sesuatu itu berkaitan dengan kebutuhannya. Jadi, bahan pelajaran merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan dalam pengajaran, sebab bahan pengajaran merupakan inti dalam proses belajar mengajar.
C.    Kegiatan Belajar Mengajar
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru dan peserta didik terlibat dalam sebuah interaksi dengan bahan pelajaran sebagai mediumnya. Dalam interaksi itu peserta didiklah yang lebih aktif, bukan guru. Seperti yang dikehendaki oleh pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), murid sebagai sentral pembelajaran. Keaktifan anak didik tentu mencakup kegiatan fisik dan mental, individual dan kelompok. Oleh karena itu interaksi dikatakan maksimal bila terjadi antara guru dengan semua peserta didik, antara peserta didik dengan guru, peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan bahan dan media pembelajaran, bahkan peserta didik dengan dirinya sendiri, namun tetap dalam kerangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
            Untuk memperoleh hasil optimal, sebaiknya guru memperhatikan perbedaan individual peserta didik, baik aspek biologis, intelektual, maupun psikologis. Ketiga aspek ini diharapkan memberikan informasi pada guru, bahwa setiap peserta didik dapat mencapai prestasi belajar yang optimal, sekalipun dalam tempo yang berlainan. Pemahaman tentang perbedaan potensi individual menghendaki pendekatan pembelajaran yang sepenuhnya bisa melayani perbedaan keunikan peserta didik masing-masing.
D.    Metode
Metode merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar, metode sangat diperlukan oleh guru, dengan penggunaan yang bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Menguasai metode mengajar merupakan keniscayaan, sebab seorang guru tidak akan dapat mengajar dengan baik apabila ia tidak menguasai metode secara tepat. Syaiful Bahri Djamarah & Winarto Surakhmad (1991), mengemukakan lima macam faktor yang mempengaruhi penggunaan metode mangajar, yakni:
1.      Tujuan dengan berbagai jenis dan fungsinya;
2.      Anak didik dengan berbagai tingkat kematangannya;
3.      Situasi berlainan keadaannya;
4.      Fasilitas bervariasi secara kualitas dan kuantitasnya;
5.      Kepribadian dan kompetensi guru yang berbeda-beda.
E.     Alat
Alat merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Dalam proses pengajaran maka alat mempunyai fungsi sebagai pelengkap untuk mencapai tujuan (Ahmad D. Marimba, 1991)
            Alat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu alat verbal dan alat bantu non verbal. Alat verbal berupa suruhan, perintah, larangan dan sebagainya. Sebagai alat bantu non verbal berupa globe, papan tulis, batu tulis, batu kapur, gambar, diagram, slide, video dan sebagainya.
            Jika dilihat dari sisi asalnya, alat terbagi atas alat material dan non material. Alat material termasuk alat bantu audiovisual. Dwyer (1967) berpendapat bahwa audio-visual yang mendekati realitas. Melalui alat bantu pengajaran yang tepat, diharapkan guru dapat memberikan pengalaman belajar yang banyak dengan cara sedikit.
            Sebagai alat bantu dalam pendidikan dan pengajaran, alat audio-visual mempunyai sifat sebagai berikut:
1.      Kemampuan untuk meningkatkan persepsi;
2.      Kemampuan untuk meningkatkan pengertian;
3.      Kemampuan untuk meningkatkan transfer belajar;
4.      Kemampuan untuk memberikan penguatan (reinforcement) atau pengetahuan hasil yang dicapai;
5.      Kemampuan untuk meningkatkan ingatan.
F.     Sumber Belajar
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran bisa didapatkan. Menurut Nasution (1993), sumber pelajaran dapat berasal dari masyarakat dan kebudayaannya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan anak didik. Sumber belajar sesungguhnya banyak sekali terdapat di mana pun seperti di sekolah, pusat kota, pedesaan, benda mati, lingkungan, toko, dan sebagainya. Pemanfaatan sumber-sumber pengajaran tersebut tergantung pada kreatifitas guru, waktu, biaya  serta kebijakan-kebijakan lainnya.
            Roestiyah N.K (1989) mengatakan bahwa sumber-sumber belajar itu adalah:
1.      Manusia (dalam keluarga, sekolah dan masyarakat);
2.      Buku/perpustakaan;
3.      Media massa (majalah, surat kabar, radio, tv, dan lain-lain);
4.      Lingkungan alam, sosial, dan lain-lain;
5.      Alat pelajaran (buku pelajaran, peta, gambar, kaset, tape, papan tulis, kapur, spidol, dan lain-lain);
6.      Museum (tempat penyimpanan benda-benda kuno)
Lebih lanjut Sudirman N. dkk. (1991), mengemukakan macam-macam sumber belajar sebagai berikut:
1.      Manusia
2.      Bahan (materialis)
3.      Lingkungan (setting)
4.      Alat dan perlengkapan (tool and equipment)
5.      Aktivitas (aktivities)
G.    Evaluasi
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu evaluation. Dalam buku Essential of Education Evaluation karangan Edwin Wand & Gerald W. Brown, dikatakan bahwa “Evaluation refer to the act process to determining the value of action refer to the value of something”. Evaluasi adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Senada dengan pendapat di atas, Wayan Nurkancana & Sumartana (1983) berpendapat bahwa evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan.
            Rumusan yang lebih bersifat operasional dikemukakan Roestiyah (1989), yakni bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya mengenai kapabilitas siswa guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa guna mendorong atau mengembangkan kemampuan balajar.
            Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka evaluasi memiliki tujuan secara umum, yakni:
1.      Mengumpulkan data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
2.      Memungkinkan pendidik/guru menilai aktivitas/pengalaman yang didapat siswa dalam pembelajaran.
3.      Menilai metode mengajar yang dipergunakan.
Lebih spesifik Abu Ahmadi & Widodo Supriyono (1991) menyatakan bahwa evaluasi memiliki tujuan sebagai berikut:
1.      Merangsang kegiatan siswa;
2.      Menemukan sebab kemajuan atau kegagalan belajar;
3.      Memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan dan bakat masing-masing siswa;
4.      Memperoleh bahan laporan tentang perkembangan siswa yang diperlukan orang tua dan lembaga pendidikan;
5.      Untuk memperbaiki mutu pelajaran/cara belajar dan metode mengajar.
Merujuk pada tujuan evaluasi seperti dikemukakan di atas, maka pelaksanaan evaluasi mempunyai manfaat yang sangat besar baik berkaitan dengan proses belajar mengajar maupun berkenaan dengan produk suatu pendidikan dan desain proses belajar mengajar di masa mendatang. Evaluasi proses menurut W.S. Winkel (1989), adalah suatu evaluasi yang diarahkan untuk menilai bagaimana kerjasama setiap komponen pengajaran yang telah dilakukan dan apakah dalam proses itu ditemukan kendala sehingga tujuan kurang tercapai secara optimal. Sedangkan evaluasi produk adalah suatu evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui bagaimana hasil belajar siswa, dan bagaimana penguasaan siswa terhadap bahan/materi pelajaran yang telah guru berikan ketika proses belajar mengajar berlangsung.
            Evaluasi sebagai sebuah sistem yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar dan di dalamnya melibatkan guru dan siswa, pada dasarnya memiliki fungsi sebagai berikut:
a.       Memberikan umpan balik (feed back) kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses pengajaran serta mengadakan perbaikan program bagi murid.
b.      Memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil belajar dari setiap murid. Antara lain digunakan dalam rangka pemberian laporan kepada orang tua, penentuan kenaikan kelas, serta penentuan lulusnya tidaknya seorang murid.
c.       Menentukan posisi murid di dalam situasi belajar mengajar agar sesuai dengan tingkat kemampuan (dan karakteristik lainnya) yang dimiliki masing-masing siswa.
d.      Mengenal latar belakang (psikologis, fisik dan lingkungan) murid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar, nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam pemecahan kesulitan-kesulitan belajar (Abu Ahmadi & Widodo Supriyono, 1991).
Seorang guru tidak bisa mengabaikan evaluasi dalam pendidikan, sekalipun seni, cara dan teknik pelaksanannya bergantung pada guru masing-masing. Tetapi yang perlu diingat agar evaluasi agar evaluasi yang dilakukan tidak menjadi “hantu” yang menakutkan bagi siswa dan memberikan masukan pada proses pembelajaran berikutnya.[1]


[1] Prof. Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, M.Pd, Strategi Belajar Mengajar, 2011, Bandung, Reflika Aditama.

KOMPETENSI GURU DALAM MENGELOLA PROSES BELAJAR MENGAJAR



KOMPETENSI GURU DALAM MENGELOLA
PROSES BELAJAR MENGAJAR

A.    Siapa itu Guru?
Guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik di sekolah (Saiful Bahri Djamarah, 2002). Selain memberikan sejumlah ilmu pengetahuan, guru juga bertugas menanamkan nilai-nilai dan sikap kepada anak didik agar anak didik memiliki kepribadian yang paripurna. Dengan keilmuan yang dimilikinya, guru membimbing anak didik dalam mengembangkan potensinya.
            Setiap guru memiliki kepribadian yang sesuai dengan latar belakang mereka sebelum menjadi guru. Kepribadian dan pandangan guru serta latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar sangat mempengaruhi kualitas pembelajaran. Guru adalah manusia unik yang memiliki karakter sendiri-sendiri. Perbedaan karakter ini akan menyebabkan situasi belajar yang diciptakan oleh setiap guru bervariasi.
            Menurut Pupuh Fathurrohman (2001), performance guru dalam mengajar dipengaruhi berbagai faktor, seperti tipe kepribadian, latar belakang pendidikan, pengalaman dan yang tak kalah penting adalah pandangan filosofis guru kepada murid. Guru yang memandang anak didik sebagai makhluk individual yang tidak memiliki kemampuan akan menggunakan pendekatan metode teacher centered, sebab murid dipandangnya sebagai gelas kosong yang bisa diisi apapun. Padahal tugas guru adalah membimbing, mengarahkan dan memotivasikan anak didik dalam mengembangkan potensinya.
            Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar akan mempengaruhi kompetensi guru dalam mengajar. Guru pemula dengan latar belakang pendidikan keguruan, akan lebih mudah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah. Guru yang bukan berlatarbelakang dari pendidikan keguruan akan banyak menemukan masalah di kelas. Kepribadian guru juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan belajar mengajar. Dalam melaksanakan tugasnya mengantarkan anak didik menjadi orang yang berilmu pengetahuan dan berkepribadian, guru dituntut memiliki kepribadian yang baik sehingga bisa dicontoh oleh siswanya.
            Disamping itu, seorang guru juga dituntut untuk menguasai berbagai kompetensi (kecakapan) dalam melaksanakan profesi keguruannya agar dapat menciptakan lingkungan belajar yang baik bagi peserta didik, sehingga tujuan pengajaran dapat tercapai dengan optimal. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran seorang guru dalam menentukan keberhasilan belajar mengajar.

B.     Kompetensi-kompetensi yang Harus Dimiliki Oleh Guru
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal. Pengertian dasar kompetensi yakni kemampuan atau kecakapan.
            Kompetensi menurut Abdul Majid (2005) adalah seperangkat tindakan inteligen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu.
            Sedangkan guru adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT dan mampu sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk hidup yang mandiri (Muhaimin & Abdul Mujib, 1993)
            Jadi, kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Artinya guru bukan saja harus pintar, tetapi juga harus pandai mentransfer ilmunya kepada peserta didik.
            Sebagai seorang pendidik guru bertugas mengajar dan menanamkan nilai-nilai dan sikap kepada siswanya. Untuk melaksanakan tugasnya tersebut, diperlukan berbagai kemampuan serta kepribadian. Sebab, guru juga dianggap sebagai contoh oleh siswa sehingga ia harus memiliki kepribadian yang baik sebagai seorang guru.
            Menurut Muhibbin Syah (2004), ada sepuluh kompetensi dasar yang harus dimiliki guru dalam upaya peningkatan keberhasilan belajar mengajar, yaitu:
1.      Menguasai bahan yang meliputi:
a)      Menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah;
b)      Menguasai bahan pendalaman/aplikasi bidang studi;
2.      Mengelola program belajar mengajar, yang meliputi:
a)      Merumuskan tujuan instruksional;
b)      Mengenal dan dapat menggunakan metode mengajar;
c)      Memilih dan menyusun prosedur instruksional yang tepat;
d)     Melaksanakan program belajar mengajar;
e)      Mengenal kemampuan (entry behavior) anak didik;
f)       Merencanakan dan melaksanakan pengajaran remedial;
3.      Mengelola kelas, meliputi:
a)      Mengatur tata ruang kelas untuk pengajaran;
b)      Menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi;
4.      Meggunakan media atau sumber belajar, yang meliputi:
a)      Mengenal, memilih dan menggunakan media;
b)      Membuat alat-alat bantu pelajaran sederhana;
c)      Menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar mengajar;
d)     Mengembangkan laboratorium;
e)      Menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar;
f)       Menggunakan micro-teaching unit dalam program pengalaman lapangan;
5.      Menguasai landasan-landasan kependidikan.
6.      Mengelola interaksi belajar mengajar.
7.      Menilai prestasi siswa untuk pendidikan dan pengajaran.
8.      Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan, meliputi:
a)      Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan konseling di sekolah;
b)      Menyelenggarakan program layanan dan bimbingan di sekolah;
9.      Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, meliputi:
a)      Mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah;
b)      Menyelenggarakan administrasi sekolah;
10.  Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil pendidikan guna keperluan pengajaran.
Asian institute for Teacher Educators dalam Mohamad Ali (1989), mengemukakan tentang kompetensi yang harus dimilki oleh seseorang yang menduduki jabatan guru. Ada tiga macam kompetensi guru, yaitu:
a)      Kmpetensi pribadi, berisi kemampuan menampilkan mengenal:
-          Pengetahuan tentang adat istiadat (baik sosial maupun agama);
-          Pengetahuan tentang budaya dan tradisi;
-          Penegtahuan tentang inti demokrasi;
-          Pengetahuan tentang estetika;
-          Apresiasi dan kesadaran sosial;
-          Sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan;
-          Setia kepada harkat dan martabat manusia.
b)      Kompetensi mata pelajaran, yakni mempunyai pengetahuan yang memadai tentang pelajaran yang dipegangnya.
c)      Kompetensi profesional, mencakup kemampuan dalam hal:
-          Mengerti dan dapat menerapkan landasan pendidikan baik filosofis, psiklogis dan sebagainya;
-          Mengerti dan dapat menerapkan teori belajar sesuai dengan tingkat perkembangan dan tingkat perilaku anak;
-          Mampu menangani mata pelajaran yang ditugaskan kepadanya;
-          Mengerti dan dapat menerapkan metode mengajar yang sesuai;
-          Dapat menggunakan berbagai alat pengajaran dan fasilitas belajar lain;
-          Dapat mengorganisasi dan melaksanakan program pengajaran;
-          Dapat mengevaluasi; dan
-          Dapat menumbuhkan kepribadian anak.

Disamping itu, sebagaimana yang dikutip dalam buku Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar karya Nana Sudjana (1991), Glasser menyebutkan ada empat hal yang harus dikuasai guru, yakni:
1.      Menguasai bahan pengajaran;
2.      Kemampuan mendiagnosa tingkah laku siswa;
3.      Kemampuan melaksanakan proses pengajaran;
4.      Kemampuan mengukur hasil belajar siswa.
Jika disederhanakan, maka minimal 2 kompetensi yang harus dimiliki serta dikuasai oleh seorang guru agar pembelajaran bisa berjalan secara efektif dan bermakna, adalah:
1.      Menguasai Materi/Bahan Pelajaran
Sebelum guru itu tampil di depan kelas untuk mengelola interaksi belajar mengajar, terlebih dahulu harus sudah menguasai bahan apa yang akan diajarkan sekaligus bahan-bahan apa yang dapat mendukung jalannya proses belajar mengajar. Dengan modal menguasai bahan, guru akan dapat menyampaikan materi pelajaran secara dinamis.
            Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar. Jika guru sendiri mengetahui dengan jelas inti pelajaran yang akan disampaikan, ia dapat meyakinkan murid dengan wibawanya, sehingga murid percaya apa yang dikatakan oleh guru, bahkan merasa tertarik terhadap pelajaran.
            Ada dua persoalan dalam penguasaan bahan pelajaran ini, yakni penguasaan bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran pelengkap. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang studi yang dipegang oleh guru sesuai dengan profesi dan keahliannya (disiplin ilmunya). Sedangkan bahan pelajaran pelengkap atau penunjang adalah bahan pelajaran yang dapat membuka wawasan seorang guru agar dalam mengajar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok. Bahan pelajaran ini biasanya bahan pelajaran yang terlepas dari disiplin keilmuan guru, tetapi dapat digunakan sebagai bahan penunjang dalam menyampaikan bahan pelajaran pokok. Pemakaian bahan pelajaran pokok yang dipegang agar dapat memberikan motivasi kepada sebagian besar atau semua peserta didik (Syaiful Bhari Djamarah & Aswan Zain, 2002).
Ada beberapa hal yang harus di perhatikan dalam menentukan bahan pengajaran:
-          Bahan pengajaran hendaknya sesuai dengan/menunjang tercapainya  tujuan instruksional;
-          Bahan pengajaran hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan dan perkembangan siswa secara umumnya;
-          Bahan pengajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan;
-          Bahan pengajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual (Ibrahim & Nana Syaodih, 2003).
2.      Menguasai Ilmu Mendidik
Selain menguasai materi, seorang guru juga harus menguasai ilmu mendidik. Tanpa penguasaan ilmu mendidik, pembelajaran tidak akan bermakna.
Beberapa hal yang termasuk dalam kawasan ilmu mendidik yang harus dikuasai oleh seorang guru, berikut ini:
-          Ilmu tentang dasar-dasar pendidikan;
-          Ilmu tentang metode mengajar;
-          Ilmu tentang media;
-          Ilmu mengelola kelas;
-          Ilmu menajemen waktu;
-          Ilmu tentang karakteristik peserta didik;
-          Ilmu tentang strategi belajar mengajar.

C.    Ciri-ciri Guru yang Baik
Mengajar yang baik bukan sekedar persoalan teknik-teknik dan metodologi belajar saja. Untuk menjaga disiplin kelas guru sering bertindak otoriter, bersikap menjauh dengan siswa, bersikap dingin dan menyembunyikan rasa takut kalau dianggap lemah. Nasehat yang sering diberikan misalnya, agar guru bertindak keras pada saat permulaan.
            Ada beberapa mitos pengajaran yang telah berlaku beberapa generasi:
1.      Guru harus bersikap tenang tidak berlebih-lebihan dan dingin dalam menghadapi setiap situasi, tidak boleh kehilangan akal, marah sekali atau menunjukkan kegembiraan yang berlebih-lebihan. Dia harus bersikap netral dalam segala masalah dan tidak menunjukkan pendapat pribadinya.
2.      Guru harus dapat menyukai siswa-siswanya secara adil. Ia tidak boleh membenci dan memarahi siswa-siswanya.
3.      Guru harus memperlakukan siswa-siswanya secara sama.
4.      Guru harus mampu menyembunyikan perasaannya meskipun terluka hatinya, terutama di depan siswa-siswanya yang masih muda.
5.      Guru diperlukan oleh siswa-siswanya karena siswa-siswanya belum dapat bekerja sendiri.
6.      Guru harus dapat menjawab semua pertanyaan yang disampaikan oleh siswa-siswanya.
Bila tidak dilaksanakan, hal-hal tersebut diatas akan memberikan pengertian yang salah tentang peran dan bagaimana seharusnya seorang guru, sehingga sering kali guru menghindarkan situasi ini dengan tidak mau mengakui ketidaktahuannya.
            Sesungguhnya guru adalah makhluk biasa. Guru sejati bukanlah makhluk yang berbeda dengan siswa-siswanya. Ia harus dapat berpartisipasi di dalam semua kegiatan yang dilakukan oleh siswa-siswanya dan yang dapat mengembangkan rasa persahabatan secara pribadi dengan siswa-siswanya dan tidak perlu merasa kehilangan kehormatan karenannya. Rasa takut dan was-was dalam keadaan tertentu hal biasa.
            Menurut Combs dkk. dalam Soemanto Wasty (1998), ciri-ciri guru yang baik adalah:
a.       Guru yang mempunyai anggapan bahwa orang lain itu mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah mereka sendiri dengan baik;
b.      Guru yang melihat bahwa orang lain mempunyai sifat ramah, bersahabat dan bersifat ingin berkembang;
c.       Guru yang cenderung melihat orang lain sebagai orang yang sepatutnya dihargai;
d.      Guru yang melihat orang-orang dan perilaku mereka pada dasarnya berkembang dari dalam; jadi bukan merupakan produk dari peristiwa-peristiwa eksternal yang dibentuk dan digerakkan. Dia melihat orang-orang itu mempunyai kreatifitas dan dinamika; jadi bukan orang yang pasif atau lamban;
e.       Guru yang melihat orang lain itu dapat memenuhi dan meningkatkan dirinya; bukan menghalangi, apalagi mengancam.