KOMPONEN-KOMPONEN
BELAJAR MENGAJAR
Kegiatan belajar mengajar mengandung sejumlah
komponen yang meliputi tujuan, bahan pelajaran, kegiatan pelajaran, kegiatan
belajar mengajar, metode, alat dan sumber, serta evaluasi.
A.
Tujuan
Tujuan merupakan suatu cita-cita yang ingin dicapai
dari pelaksanaan pembelajaran. Tidak ada suatu pembelajaran yang diprogramkan
tanpa tujuan, karena hal ini merupakan kegiatan yang tidak memiliki kepastian
dalam menentukan arah, target akhir dan prosedur yang dilakukan.
Tujuan
dalam pendidikan dan pengajaran merupakan suatu cita-cita yang bernilai
normatif. Sebab dalam tujuan terdapat sejumlah nilai yang harus ditanamkan
kepada anak didik. Nilai-nilai itu nantinya akan mewarnai cara anak didik
bersikap dan berbuat dalam lingkungan sosial, baik di sekolah maupun di luar
sekolah.
Tujuan
mempunyai jenjang dari yang luas atau umum sampai kepada yang sempit/khusus.
Semua tujuan itu berhubungan antara satu dengan yang lainnya, dan tujuan di
atasnya. Bila tujuan terendah tidak tercapai, maka tujuan di atasnya tidak
tercapai pula. Hal ini disebabkan tujuan berikutnya merupakan turunan dari
tujuan sebelumnya. Dengan ini diartikan bahwa dalam merumuskan tujuan, maka
kita harus benar-benar memperhatikan kesinambungan setiap jenjang tujuan
pendidikan dan pengajarnya. Oleh karena itu, guru dalam melakukan pengajaran,
sekalipun hanya berupa sub materi bahan ajar, tidak boleh terlepas dari konteks
tujuan sebelumnya.
Lebih
spesifik Roestiyah (1989),
berpendapat bahwa suatu tujuan pengajaran merupakan deskripsi tentang
penampilan perilaku (performance)
anak didik yang diharapkan setelah mempelajari bahan pelajaran tertentu. Suatu
tujuan pengajaran dan bukan sekedar proses dari pengajaran itu sendiri
B.
Bahan
Pelajaran
Bahan/materi merupakan medium untuk mencapai tujuan
pengajaran yang “dikonsumsi” oleh peserta didik. Bahan ajar merupakan materi
yang terus berkembang secara dinamis seiring dengan kemajuan dan tuntutan
perkembangan masyarakat. Bahan ajar yang diterima anak didik harus mampu
merespons setiap perubahan dan mengantisipasi setiap perkembangan yang akan
terjadi di masa depan. Oleh karena itu, bahan pelajaran menurut Suharsimi Arikunto (1990), merupakan
unsur inti yang ada di dalam kegiatan belajar mengajar, karena memang bahan
pelajaran itulah yang diupayakan untuk dikuasai oleh anak didik. Karena itu
pula, guru khususnya, atau pengembangan kurikulum umumnya, harus memikirkan
sejauh mana bahan-bahan atau topik yang tertera dalam silabus berkaitan dengan
kebutuhan peserta didik di masa depan. Sebab, minat peserta didik akan bangkit
bila suatu bahan diajarkan sesuai dengan kebutuhannya.
Maslow, sebagaimana dikutif dari Sudirman (1988), berkeyakinan bahwa
minat seseorang akan muncul bila sesuatu itu berkaitan dengan kebutuhannya.
Jadi, bahan pelajaran merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan dalam
pengajaran, sebab bahan pengajaran merupakan inti dalam proses belajar
mengajar.
C.
Kegiatan
Belajar Mengajar
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru dan peserta
didik terlibat dalam sebuah interaksi dengan bahan pelajaran sebagai mediumnya.
Dalam interaksi itu peserta didiklah yang lebih aktif, bukan guru. Seperti yang
dikehendaki oleh pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), murid sebagai
sentral pembelajaran. Keaktifan anak didik tentu mencakup kegiatan fisik dan
mental, individual dan kelompok. Oleh karena itu interaksi dikatakan maksimal
bila terjadi antara guru dengan semua peserta didik, antara peserta didik
dengan guru, peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan bahan dan
media pembelajaran, bahkan peserta didik dengan dirinya sendiri, namun tetap
dalam kerangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Untuk
memperoleh hasil optimal, sebaiknya guru memperhatikan perbedaan individual
peserta didik, baik aspek biologis, intelektual, maupun psikologis. Ketiga
aspek ini diharapkan memberikan informasi pada guru, bahwa setiap peserta didik
dapat mencapai prestasi belajar yang optimal, sekalipun dalam tempo yang
berlainan. Pemahaman tentang perbedaan potensi individual menghendaki
pendekatan pembelajaran yang sepenuhnya bisa melayani perbedaan keunikan
peserta didik masing-masing.
D.
Metode
Metode merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar, metode
sangat diperlukan oleh guru, dengan penggunaan yang bervariasi sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Menguasai metode mengajar merupakan keniscayaan,
sebab seorang guru tidak akan dapat mengajar dengan baik apabila ia tidak
menguasai metode secara tepat. Syaiful
Bahri Djamarah & Winarto Surakhmad (1991), mengemukakan lima macam
faktor yang mempengaruhi penggunaan metode mangajar, yakni:
1. Tujuan
dengan berbagai jenis dan fungsinya;
2. Anak
didik dengan berbagai tingkat kematangannya;
3. Situasi
berlainan keadaannya;
4. Fasilitas
bervariasi secara kualitas dan kuantitasnya;
5. Kepribadian
dan kompetensi guru yang berbeda-beda.
E.
Alat
Alat merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan
dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Dalam proses pengajaran maka alat
mempunyai fungsi sebagai pelengkap untuk mencapai tujuan (Ahmad D. Marimba, 1991)
Alat
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu alat verbal dan alat bantu non verbal.
Alat verbal berupa suruhan, perintah, larangan dan sebagainya. Sebagai alat
bantu non verbal berupa globe, papan tulis, batu tulis, batu kapur, gambar,
diagram, slide, video dan sebagainya.
Jika
dilihat dari sisi asalnya, alat terbagi atas alat material dan non material.
Alat material termasuk alat bantu audiovisual. Dwyer (1967) berpendapat bahwa audio-visual
yang mendekati realitas. Melalui alat bantu pengajaran yang tepat, diharapkan
guru dapat memberikan pengalaman belajar yang banyak dengan cara sedikit.
Sebagai
alat bantu dalam pendidikan dan pengajaran, alat audio-visual mempunyai sifat sebagai berikut:
1. Kemampuan
untuk meningkatkan persepsi;
2. Kemampuan
untuk meningkatkan pengertian;
3. Kemampuan
untuk meningkatkan transfer belajar;
4. Kemampuan
untuk memberikan penguatan (reinforcement)
atau pengetahuan hasil yang dicapai;
5. Kemampuan
untuk meningkatkan ingatan.
F.
Sumber
Belajar
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat
dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran bisa didapatkan. Menurut Nasution (1993), sumber pelajaran dapat
berasal dari masyarakat dan kebudayaannya, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kebutuhan anak didik. Sumber belajar sesungguhnya banyak sekali
terdapat di mana pun seperti di sekolah, pusat kota, pedesaan, benda mati,
lingkungan, toko, dan sebagainya. Pemanfaatan sumber-sumber pengajaran tersebut
tergantung pada kreatifitas guru, waktu, biaya
serta kebijakan-kebijakan lainnya.
Roestiyah N.K (1989) mengatakan bahwa
sumber-sumber belajar itu adalah:
1. Manusia
(dalam keluarga, sekolah dan masyarakat);
2. Buku/perpustakaan;
3. Media
massa (majalah, surat kabar, radio, tv, dan lain-lain);
4. Lingkungan
alam, sosial, dan lain-lain;
5. Alat
pelajaran (buku pelajaran, peta, gambar, kaset, tape, papan tulis, kapur,
spidol, dan lain-lain);
6. Museum
(tempat penyimpanan benda-benda kuno)
Lebih lanjut Sudirman N. dkk. (1991), mengemukakan macam-macam sumber belajar
sebagai berikut:
1. Manusia
2. Bahan
(materialis)
3. Lingkungan
(setting)
4. Alat
dan perlengkapan (tool and equipment)
5. Aktivitas
(aktivities)
G.
Evaluasi
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu
evaluation. Dalam buku Essential of
Education Evaluation karangan Edwin
Wand & Gerald W. Brown, dikatakan bahwa “Evaluation refer to the act process to determining the value of action
refer to the value of something”. Evaluasi adalah suatu tindakan atau
proses untuk menentukan nilai dari suatu tindakan atau suatu proses untuk
menentukan nilai dari sesuatu. Senada dengan pendapat di atas, Wayan Nurkancana & Sumartana (1983)
berpendapat bahwa evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai suatu tindakan
atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan.
Rumusan
yang lebih bersifat operasional dikemukakan Roestiyah (1989), yakni bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan
data seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya mengenai kapabilitas siswa guna
mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa guna mendorong atau
mengembangkan kemampuan balajar.
Berdasarkan pengertian-pengertian di
atas, maka evaluasi memiliki tujuan secara umum, yakni:
1. Mengumpulkan
data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang
diharapkan.
2. Memungkinkan
pendidik/guru menilai aktivitas/pengalaman yang didapat siswa dalam
pembelajaran.
3. Menilai
metode mengajar yang dipergunakan.
Lebih spesifik Abu Ahmadi & Widodo Supriyono (1991) menyatakan bahwa evaluasi
memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Merangsang
kegiatan siswa;
2. Menemukan
sebab kemajuan atau kegagalan belajar;
3. Memberikan
bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan dan bakat masing-masing
siswa;
4. Memperoleh
bahan laporan tentang perkembangan siswa yang diperlukan orang tua dan lembaga
pendidikan;
5. Untuk
memperbaiki mutu pelajaran/cara belajar dan metode mengajar.
Merujuk
pada tujuan evaluasi seperti dikemukakan di atas, maka pelaksanaan evaluasi
mempunyai manfaat yang sangat besar baik berkaitan dengan proses belajar
mengajar maupun berkenaan dengan produk suatu pendidikan dan desain proses
belajar mengajar di masa mendatang. Evaluasi proses menurut W.S. Winkel (1989), adalah suatu
evaluasi yang diarahkan untuk menilai bagaimana kerjasama setiap komponen
pengajaran yang telah dilakukan dan apakah dalam proses itu ditemukan kendala
sehingga tujuan kurang tercapai secara optimal. Sedangkan evaluasi produk
adalah suatu evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui bagaimana hasil belajar
siswa, dan bagaimana penguasaan siswa terhadap bahan/materi pelajaran yang
telah guru berikan ketika proses belajar mengajar berlangsung.
Evaluasi sebagai sebuah sistem yang
tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar dan di dalamnya melibatkan
guru dan siswa, pada dasarnya memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Memberikan
umpan balik (feed back) kepada guru
sebagai dasar untuk memperbaiki proses pengajaran serta mengadakan perbaikan
program bagi murid.
b. Memberikan
angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil belajar dari setiap murid. Antara
lain digunakan dalam rangka pemberian laporan kepada orang tua, penentuan
kenaikan kelas, serta penentuan lulusnya tidaknya seorang murid.
c. Menentukan
posisi murid di dalam situasi belajar mengajar agar sesuai dengan tingkat
kemampuan (dan karakteristik lainnya) yang dimiliki masing-masing siswa.
d. Mengenal
latar belakang (psikologis, fisik dan lingkungan) murid yang mengalami
kesulitan-kesulitan belajar, nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam
pemecahan kesulitan-kesulitan belajar (Abu
Ahmadi & Widodo Supriyono, 1991).
Seorang guru tidak bisa mengabaikan
evaluasi dalam pendidikan, sekalipun seni, cara dan teknik pelaksanannya
bergantung pada guru masing-masing. Tetapi yang perlu diingat agar evaluasi
agar evaluasi yang dilakukan tidak menjadi “hantu” yang menakutkan bagi siswa
dan memberikan masukan pada proses pembelajaran berikutnya.[1]
[1] Prof.
Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, M.Pd, Strategi Belajar Mengajar, 2011, Bandung, Reflika Aditama.