Jumat, 26 Juni 2015

HADITS TENTANG AMALAN-AMALAN PADA BULAN RAMADHAN



MAKALAH
HADITS TENTANG AMALAN-AMALAN
PADA BULAN RAMADHAN








OLEH :
DESI ISMAYANI


KELAS : IV F PGMI



PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2015





KATA PENGANTAR

      Alhamdulillah, puji syukur kehadirat  Allah SWT atas karunianya  yang begitu luas, kita selalu bisa menikmati apa yang terdapat pada diri kita baik yang berupa materi seperti: harta bend, yang kita miliki ataupun berupa inmateri seperti kesehatan, kesempatan,keislaman,serta nikmat membaca dan berpikir. Shalawat beserta salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun  kita kejalan yang benar dan dialah suri tauladan yang sebaik-baiknya.
Dengan memohon keridhoan Allah SWT, maha pemberi pengetahuan dan pencerah atas hamba-hambanya, akhirnya makalah ini bisa terselesaikan. Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Amiiin ya robbal’alamin.



                                                                                                      Mataram,  22 Juni 2015
















DAFTAR ISI
Kata pengantar.................................................................................................ii
Daftar isi..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang...................................................................................... 1
B.     Rumusan masalah................................................................................. 2
C.     Tujuan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
1.      Puasa Ramadhan............................................................................ 3      
2.      Qiyamullail Ramadhan................................................................... 5
3.      Tadarus Al-Qur’an.......................................................................... 7
4.      Memperbanyak Shodaqoh.............................................................. 9
5.      Menyegerakan Berbuka Puasa........................................................ 11
6.      Memberi Makan Untuk Orang yang Berbuka Puasa...................... 15
7.      Sahur .............................................................................................. 15
8.      Umarah........................................................................................... 18
9.      I’tikaf.............................................................................................. 18
10.  Zakat Fitrah.................................................................................... 19
11.  Memperbanyak Berdoa dan Ddzikir.............................................. 20
BAB III PENUTUP
Kesimpulan........................................................................................... 21


Daftar Rujukan..................................................................................... 24







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Semua kaum muslim rindu akan kehadiran bulan Ramadhan yang membawa keberkahan dan kebahagiaan bagi umat Nabi Muhammad Saw. karena Ramadhan merupakan bulan Allah yang mengandung keistimewaan di dalamnya , seperti diwajibkannya puasa, disunnahkan shalat tarawih, diturunkannya Al-Qur’an, dilipatgandakan pahala, dikabulkannya doa, serta adanya lailatul qadar, dan diwajibkannya zakat fitrah.
            Ramadhan kini telah hadir di rumah kita dan kita sambut dengan hati bahagia sebagai bulan Allah Yang Agung, karena dengan kehadirannya akan memberikan jaminan kepada hamba-hambanya yang taat dan patuh atas perintahnya. Ramadhan yang hadir ini akan mengetuk pintu hati Mukmin yang sejati agar hati menjadi penuh kasih sayang serta dihiasi kejernihan dan kesucian.
Kehadiran Ramadhan akan membuka hati Mukmin menjadi kuat dan suci karena mereka akan menjauhi perbuatan-perbuatan keji dan kotor yang akan membutakan hatinya. Ramadhan akan mencerdaskan hati orang-orang Mukmin karena mereka yakin, bahwa Ramadhan sebagai bulan Allah yang akan memudahkan kepada hamba-hambanya yang akan melakukan ketaatan dan menjauhi kedurhakaan.
Ketaatan kepada bulan Ramadhan, Allah akan menambah keteguhan hati dan kuatnya iman, sehingga mudah dan ringan melakukan kewajiban ibadah kepada Allah, baik melakukan  kewajiban shalat lima waktu sehari semalam, maupun berpuasa selama satu bulan, ataupun melakukan shalat tarawih selama ibadah puasa, serta ringan untuk bebuat kewajiban dan amal saleh, serta ringan pula untuk menolong sesama manusia.
Semua itu, karena didikan dan penggamblengan Ramadhan yang bisa melahirkan insan-insan yang bertakwa dan beriman, serta beramal saleh dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya. Sebab semua yang kita miliki pada hakikatnya adalah milik Allah dan semua yang ada di langit maupun yang ada di bumi, serta ada pada diri kita.
Kehadiran bulan suci Ramadhan menjadi sebuah hadiah yang indah bagi kita, karena padanya kebaikan bernilai lebih serta berlipat ganda, dan terdapat padanya amalan-amalan yang tidak terdapat pada bulan lainnya.






B.     Rumusan Masalah

1.      Amalan-amalan apa saja yang harus di amalkan di bulan Ramadhan?
2.      Apa saja hadits tentang amalan-amalan pada bulan Ramadhan?

C.    Tujuan

Agar kita bisa mengetahui dan mengamalkan hadits tentang amalan-amalan pada bulan Ramadhan












BAB II
PEMBAHASAN
HADITS TENTANG AMALAN-AMALAN
 PADA BULAN RAMADHAN

1.      Puasa Ramadhan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang berpuasa ramadhan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan Muslim)[1]
Berpuasa pada bulan Ramadhan yang dilandasi dengan keimanan yang sesungguhnya, Allah akan mengampuni segala dosa yang telah diperbuatnya. Keimanan itu akan melahirkan kekuatan lahir dan batin bagi kaum Mukminin, apalagi pada bulan Ramadhan yang mendorong kekuatan keimanan untuk menjalankan perintah Allah dan Rasulnya, baik yang berkenaan dengan ibadah maupun muamalah. 
Shaum adalah ibadah yang Agung di sisi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Semua amal anak Adam dilipat gandakan; satu kebaikan ditulis sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali shoum karena ia untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya; ia meninggalkan syahwat dan makanannya karena-Ku.” Orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka puasa, dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabbnya. Bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari minyak kesturi.” ( HR. Ahmad, Muslim, dan Nasa’i).[2]
Pada hari kiamat, shoum akan datang memberikan syafa’at kepada pelakunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan al Qur’an akan memberi syafa’at bagi seseorang pada hari kiamat. Puasa berkata, ‘ Ya Tuhan, Engkau larang ia makan dan memuaskan syahwat di waktu siang, sekarang ia meminta syafa’a kepadaku karena itu.’ Berkata pula Al-Qur’an, ‘ Engkau larang ia tidur di waktu malam. Sekarang ia meminta syafa’at kepadaku mengenai itu.’ Maka syafa’at kedua mereka pun diterima oleh Allah.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih) [3]
Bahkan, orang yang berpuasa akan disediakan pintu khusus ke surga, pintu itu bernama Royyan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مَعَهُمْ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَدْخُلُونَ مِنْهُ فَإِذَا دَخَلَ آخِرُهُمْ أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَد
“Sesungguhnya surga mempunyai pintu yang bernama Ar Rayyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat, tidak selain mereka yang memasukkinya. Akan dikatakan,”Dimana orang-orang yang berpuasa? Merekapun dari pintu tersebut. Apabila semuanya telah masuk, akan dikunci dan tidak ada yang memasukkinya seorangpun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, berapa banyak orang yang berpuasa akan tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali menahan haus dan lapar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
“Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya menahan lapar dan dahaga saja.” (HR. Ibnu Majah).[4]
Hal itu terjadi karena ia tidak berpuasa dari apa yang Allah haramkan, ia seakan menganggap bahwa puasa itu hanya menahan diri dari pembatal-pembatal puasa saja, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Muslim, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه
“Barang siapa yang tidak menghentikan perkataan-perkataan dusta dan melakukan kedustaan itu, maka Allah tidak merasa perlu ia meninggalkan makan dan minumnya.” [5]
Maksud hadits diatas adalah Allah tidak akan menerima ibadah puasanya.
Karena hakikat shaoum adalah menahan dari dari segala sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat kita, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَث
“Bukanlah shoum itu sebatas menahan diri dari makanan dan minuman, akan tetapi shoum adalah menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata kotor.” (HR. Ibnu Khuzaimah)[6]
2.      Qiyamullail Ramadhan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.   رواه البخاري ومسلم
Dari abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang qiyamulail di bulan ramadhan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Bukhari dan muslim)[7]
Qiyamullail Ramadhan adalah ibadah yang berpahala besar yang senantiasa dirutinkan oleh para shahabat dan generasi setelahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah  melakukannya secara berjama’ah selama tiga malam, lalu beliau tinggalkan karena khawatir di wajibkan atas umatnya. Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dalam mushannafnya (2/264 no 7746) dengan sanad yang shahih kepada Aisyah radliyallahu ‘anha, ia berkata:
صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَيْلَةً فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي الْمَسْجِدِ وَمَعَهُ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى الثَّانِيَةَ فَاجْتَمَعَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ أَكْثَرَ مِنَ الْأُوْلَى فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةَ أَوْ الرَّابِعَةَ امْتَلَأَ الْمَسْجِدُ حَتَّى غَصَّ بِأَهْلِهِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ فَجَعَلَ النَّاسُ يُنَادُوْنَهُ الصَّلَاةَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مَا زَالَ النَّاسُ يَنْتَظِرُوْنَكَ الْبَارِحَةَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ أَمَا أَنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ أَمْرُهُمْ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِمْ.
 “Suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan di masjid bersama beberapa orang. Di malam kedua beliau kembali shalat, dan orang-orang yang ikut shalat lebih banyak dari malam pertama. Ketika di malam ketiga atau keempat, masjid menjadi penuh sampai-sampai beliau masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar. Maka orang-orang memanggil beliau, “Shalat !” Di pagi harinya, Umar bin Al Khathab berkata, “Tadi malam orang-orang menunggumu hai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Perbuatan mereka tidak tersembunyi bagiku, akan tetapi aku khawatir di wajibkan atas mereka.”(HR. Muslim)[8]

Dari hadits diatas menjelaskan bahwa shalat tarawih yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah Saw. pada bulan Ramadhan, kemudian diikuti oleh para sahabat Nabi selama tiga atau empat malam dan malam berikutnya Rasulullah tidak keluar rumah karena merasa kasihan kepada umatnya, merasa khawatir kalau shalat malam diwajibkan nanti kepada umatnya.
Dan dalam hadits Abu Dzarr, beliau berkata:
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ
“Kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak sholat malam (berjama’ah) dengan kami sampai tersisa tujuh hari dari bulan Ramadhan. Maka beliau qiyam (pada malam 23) bersama kami hingga lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak qiyam dengan kami pada enam hari tersisa, dan kembali qiyam dengan kami pada lima hari tersisa (malam 25) hingga lewat tengah malam. Lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana bila sisa malam ini kita gunakan untuk shalat sunnah ?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang sholat bersama imam sampai selesai, maka dituliskan untuknya sholat semalam suntuk”.Kemudian beliau tidak qiyam bersama kami sampai tersisa tiga hari bulan Ramadhan, beliau memanggil istri-istrinya dan keluarganya, beliau pun qiyam dengan kami (di malam 27) hingga kami khawatir tidak sempat melakukan al falah. Aku berkata: “Apa itu al Falah ?” ia berkata: “Sahur”. (HR At Tirmidzi, ibnu Majah, ibnu Hibban, ibnu Khuzaimah dan lainnya. At Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih”).
Dalam hadits ini disebutkan bahwa orang yang qiyam bersama imam sampai selesai, dituliskan untuknya shalat semalam suntuk. Ini adalah keutamaan yang besar bagi orang yang melakukannya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah dan para sahabat melakukan shalat tarawih di awal malam, bukan di akhir malam dan itulah waktu yang paling utama untuk shalat tarawih.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qiyam ramadhan secara berjama’ah hanya tiga malam saja karena beliau khawatir di wajibkan atas umatnya. Namun setelah wafat, tidak mungkin lagi wahyu turun dan tidak mungkin diwajibkan. Oleh karena itu Umar memandang untuk kembali dilaksanakan qiyam ramadhan dengan satu imam. Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Abdurrahman bin Al Qari ia berkata:
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبَدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُوْنَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ.
“Aku keluar bersama Umar bin Al Khathab radliyallahu ‘anhu suatu malam di bulan Ramadhan menuju masjid. Ternyata manusia berpencar-pencar; ada yang shalat sendirian, dan ada yang berjamaah dengan beberapa orang. Umar berkata: “Aku memandang seandainya dikumpulkan kepada satu imam saja, tampaknya lebih bagus.” Kemudian beliau mengumpulkan mereka kepada Ubay Bin Ka’ab.. Di malam yang lain, aku (Abdurrahman) keluar bersama Umar, ternyata kaum Muslimin mengerjakan shalat berjama’ah dengan imam mereka. Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Waktu yang digunakan oleh orang-orang untuk tidur adalah lebih baik daripada waktu yang mereka gunakan untuk shalat.”. Maksudnya akhir malam dan dahulu mereka melakukannya di awal malam.(HR. Imam Malik)[9]

Dalam hadits diatas, maksud  Umar adalah bahwa shalat tarawih di awal malam lebih utama dari shalat tarawih di akhir malam. Karena di luar Ramadhan, para shahabat biasa tidur di awal malam dan bangun pada sepertiga malam. Ini menunjukkan bahwa waktu shalat tarawih yang paling utama adalah di awal malam, sebagaimana juga ditunjukkan oleh perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atasir malam dan dahulu mereka melakukannya di awal malam.
Perkataan Umar: “Sebaik-baiknya bid’ah”. Maksudnya adalah bid’ah secara bahasa, dan bukan bid’ah secara istilah. Karena bagaimana mungkin disebut bid’ah secara istilah sementara perbuatan itu pernah dilakukan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Rasulullah meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya sedangkan kaidah berkata: “Suatu ibadah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, kemudian ditinggalkan oleh beliau karena khawatir diwajibkan, maka boleh melakukannya setelah Rasulullah wafat, karena alasan khawatir diwajibkan telah hilang.
3.      Tadarus Al Qur’an
Membaca Al Qur’an adalah ibadah yang Agung dan dzikir yang paling utama. Al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada setiap orang yang membacanya, sebagaimana dalam hadits:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَافِعًا لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَة
“Bacalah Al Qur’an, sesungguhnya ia akan datang memberikan syafa’at kepada para pembacanya pada hari kiamat.”  (HR. Ahmad)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan pahala yang besar untuk orang yang membaca Al Qur’an, beliau bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرَةِ أَمْثَالِهَا أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ: الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلْفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah, maka ia mendapat satu kebaikan, dan satu kebaikan tersebut dihitung sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi)[10]
Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di setiap bulan Ramadhan tadarus Al Qur’an bersama malaikat Jibril ‘alaihissalam. Ibnu Abbas berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ  
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadhan ketika bertemu dengan malaikat Jibril, dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadhan untuk mudarosah (mempelajari) Al Qur’an.. (HR Al Bukhari).

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tadarus Al Qur’an bersama Jibril ‘alaihissalam di malam bulan Ramadhan, ini menunjukkan bahwa waktu yang paling utama untuk membaca Al Qur’an dan mempelajarinya di bulan Ramadhan adalah di waktu malam. Dan ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits:
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
“Shaum dan Al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat. Shoum berkata, “Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan dan syahwat di waktu siang, izinkan aku memberi syafa’at untuknya.” Al Qur’an berkata, “Aku telah mencegahnya tidur di waktu malam, izinkan aku memberi syafa’at untuknya. Keduanya pun diberi izin untuk memberi syafa’at.”  (HR. Ahmad)[11]

Hadits ini menunjukkan keutamaan membaca Al Qur’an di bulan Ramadhan, oleh karena itu dahulu salafushalih lebih banyak menyibukkan dirinya dengan membaca Al Qur’an ketika datang bulan Ramadlan. Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Dahulu salafushalih memperbanyak membaca Al Qur’an di bulan Ramadhan, dalam shalat dan dalam kesempatan lainnya. Imam Az Zuhri rahimahullah apabila telah masuk Ramadhan berkata, “Ia hanyalah untuk membaca Al Qur’an dan memberi makan.” Imam Malik rahimahullah apabila telah datang bulan Ramadhan meninggalkan membaca hadits dan majelis-majelis ilmu dan lebih menyibukkan diri dengan membaca Al Qur’an dari mushhaf. Imam Qatadah biasanya mengkhatam Al Qur’an di setiap tujuh hari, dan di bulan Ramadlan beliau mengkhatam setiap tiga hari.
Imam Abdurrazzaq bin Hammam Ash Shan’ani berkata, “Sufyan Ats Tsauri apabila telah masuk bulan Ramadlan, beliau meninggalkan semua ibadah (yang sunnah) dan bersungguh-sungguh membaca Al Qur’an. Dan Aisyah radliyallahu ‘anha membaca mushaf di awal siang di bulan Ramadlan, apabila matahari telah terbit beliaupun tidur.”
4.      Memperbanyak shodaqoh
Dalam hadits ibnu Abbas yang telah kita sebutkan tadi disebutkan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ
 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)[12]
Tafsiran Hadits:
Hadits tersebut memberikan faidah kepada kita bahwa kedermawanan hendaknya lebih di tingkatkan lagi di bulan Ramadhan. Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih meningkatkan kedemawanan di bulan Ramadlan secara khusus?? Al Hafidz ibnu Rajab menyebutkan banyak faidah mengapa demikian. Beliau berkata, “Meningkatnya kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadhan secara khusus memberikan faidah yang banyak, diantaranya:
Pertama: Bertepatan dengan waktu yang mulia dimana amalan dilipatkan gandakan pahalanya bila bertepatan dengan waktu yang mulia.
Kedua: Membantu orang-orang yang berpuasa, sholat malam, dan berdzikir dalam ketaatan mereka, sehingga orang yang membantu itu mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang dibantu. Sebagaimana orang yang memberikan persiapan perang kepada orang lain mendapat pahala seperti orang yang berperang.
Ketiga: Allah amat dermawan kepada hamba-hamabNya di bulan Ramadhan dengan memberikan kepada mereka rahmat, ampunan dan kemerdekaan dari api Neraka, terutama di malam lailatul qodar. Allah merahmati hamba-hambaNya yang kasih sayang, sebagaimana Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ.
“Sesungguhnya Allah hanyalah menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang.” (HR Bukhari dan Muslim)
Barang siapa yang dermawan kepada hamba-hamba Allah, maka Allahpun akan dermawan kepadanya dengan karuniaNya, dan balasan itu sesuai dengan jenis amalan.
Keempat: Menggabungkan puasa dan sedekah adalah sebab yang memasukkan ke dalam surga, sebagaimana dalam hadits Ali Radliyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا فَقَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَطَابَ الْكَلَامَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَام
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang luarnya terlihat dari dalamnya, dan dalamnya terlihat dari luarnya.” Seorang arab badui berdiri dan berkata, “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Untuk orang yang membaguskan perkatannya, memberi makan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam karena Allah sementara manusia sedang terlelap tidur.” (HR. At Tirmidzi)

Amalan-amalan yang disebutkan dalam hadits ini semuanya ada dalam bulan Ramadhan, maka terkumpul pada seorang mukmin puasa, qiyamullail, shodaqoh, dan berbicara baik karena orang yang sedang berpuasa dilarang melakukan perbuatan sia-sia dan kotor.
Kelima: Menggabungkan antara puasa dan shodaqoh lebih memberikan kekuatan yang lebih untuk menghapus dosa dan menjauhi api Neraka, terlebih bila ditambah sholat malam. Dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa puasa adalah perisai. Beliau juga mengabarkan bahwa shodaqoh itu dapat memadamkan kesalahan sebagaimana air dapat memadamkan api.
Keenam: Orang yang berpuasa tentunya tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, maka shodaqoh dapat menutupi kekurangan dan kesalahan tersebut, oleh karena itu diwajibkan zakat fithr di akhir Ramadlan sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata yang kotor.
Faidah lainnya adalah yang disebutkan oleh imam Asy Syafi’i, beliau berkata, “Aku suka bila seseorang meningkatkan kedermawanan di bulan Ramadhan karena mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga karena kebutuhan manusia kepada perkara yang memperbaiki kemashlatan mereka, dan karena banyak manusia yang disibukkan dengan berpuasa dari mencari nafkah.”
Banyak hadits yng menjelaskan keutamaan shodaqoh, diantaranya hadits:
 مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ.
“Siapa yang bershodaqoh dengan sebutir kurma dari hasil usaha yang halal, dan Allah tidak menerima kecuali yang halal, maka Allah akan menerima dengan tangan kananNya, lalu mengembang biakkannya sebagaimana seseorang dari kamu mengembang biakkan anak kudanya sehingga menjadi sebesar gunung.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun hendaknya orang yang ingin bershodaqoh mendahulukan yang wajib sebelum yang sunnah, karena ia lebih besar pahalanya, sebagaimana dalam hadits:
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, dinar yang kamu infakkan untuk memerdekakan hamba sahaya, dinar yang kamu infakkan kepada fakir miskin, dan dinar yang kamu infakkan kepada istrimu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan kepada istrimu.” (HR. Muslim)
5.      Menyegerakan berbuka puasa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya agar menyegerakan berbuka puasa, bahkan menjadikannya sebagai tonggak kebaikan umat islam. Beliau bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْر
“Manusia (umat Islam) akan senantiasa berada di dalam kebaikan selama mereka bersegera berbuka puasa.”  (HR. Bukhari dan Muslim)[13]
Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُون
“Agama ini senantiasa menang selama manusia bersegera berbuka, karena Yahudi dan Nashrani mengakhir-akhirkan berbuka puasa.” (HR. Abu Dawud dan ibnu majah)
Yang dimaksud dengan bersegera berbuka puasa adalah bersegera berbuka ketika matahari telah terbenam walaupun langit masih terlihat terang, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa radliyallahu ‘anhu berkata:
سِرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ صَائِمٌ فَلَمَّا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ « يَا بِلاَلُ انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا ». قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَمْسَيْتَ. قَالَ « انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا ». قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا. قَالَ « انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا ». فَنَزَلَ فَجَدَحَ فَشَرِبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ « إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّيْلَ قَدْ أَقْبَلَ مِنْ هَا هُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ ». وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ قِبَلَ الْمَشْرِقِ.
“Kami berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang berpuasa, ketika matahari telah tenggelam, beliau bersabda, “Hai Bilal turunlah dan sediakan makanan berbuka untuk kita.” Bilal berkata, “Wahai Rasulullah, jika engkau menunggu agak sore lagi?” beliau bersabda, “Turunlah dan sediakan makanan berbuka untuk kita.” Bilal berkata, “Wahai Rasulullah, langit masih terang.” Beliau bersabda, “Turunlah dan sediakan makanan berbuka untuk kita.” Bilalpun turun dan mempersiapkannnya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minum, kemudian beliau bersabda, “Apabila malam telah datang dari arah sana, maka telah masuk waktu berbuka puasa.” Beliau menunjuk ke arah timur. (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad shahih).
Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan ta’jil (bersegera berbuka puasa) memberikan kepada kita banyak faidah, diantaranya:
Pertama: Agama ini akan sentiasa menang selama umat islam menyelisihi kaum ahlul kitab dan tidak menyerupai mereka dalam seluruh sisi kehidupan.
Kedua: Berpegang kepada Islam hendaknya menyeluruh (kaffah), sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا ادْخُلُوْا فِي السِّلْمِ كَافَّة                      
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu masuk islam secara kaffah.” (Al Baqarah: 208)
Kita tidak boleh memilah masalah pokok dengan masalah parsial, atau memilah antara cangkang dan inti, karena sikap seperti ini adalah bid’ah yang diada-adakan di zaman ini. Bila masalah ta’jil yang banyak diremehkan oleh kaum muslimin ini dianggap sebagai tonggak kejayaan Islam, maka itu menunjukkan bahwa syari’at Islam sekecil apapun tidak boleh dianggap remeh, karena semua itu berasal dari Allah pencipta langit dan bumi.
Ketiga: Kejadian-kejadian memilukan yang menimpa kaum muslimin di negeri-negeri islam tidak boleh menjadikan kita membeda-bedakan syari’at Allah atau bahkan menganggap sepele masalah-masalah yang dianggap parsial. Ketika kita mengingkari suatu bid’ah, banyak orang yang berkata, “Mengapa kamu menyibukkan diri dengan masalah-masalah sepele, sementara kaum muslimin dibantai??” apakah ia tidak sadar bahwa kehinaan kaum muslimin disebabkan jauhnya mereka dari ajaran islam yang benar, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa-apa yang aku larang tinggalkanlah, dan apa-apa yang aku perintahkan lakukanlah semampu kamu, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah banyak bertanya dan menyelisi Nabi-Nabi mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Memperhatikan adab-adab berbuka puasa
Setelah menjelaskan keutamaan ta’jil, kita akan menjelaskan adab-adab berbuka puasa yang hendaknya diperhatikan oleh setiap orang yang berbuka puasa, diantara adabnya adalah:
Adab Pertama: Berbuka sebelum shalat maghrib.
Berdasarkan hadits Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى رُطَبَاتٍ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab sebelum shalat (maghrib).” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
Di negeri kita ini ada sebuah fenomena yang harus diingatkan, yaitu banyak kaum muslimin ketika berbuka mereka langsung makan besar sehingga meninggalkan shalat berjama’ah di masjid, tentunya ini tidak sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagusnya kita berbuka dahulu dengan kurma lalu pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah, kemudian bila kita ingin melanjutkan makan, kita lakukan setelah shalat maghrib, agar tidak terluput dari keutamaan besar shalat berjama’ah di masjid.
Adab Kedua: Berbuka dengan ruthab, bila tidak ada maka dengan kurma, bila tidak ada maka dengan air.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan agar berbuka dengan kurma, bila tidak ada maka dengan air. Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum shalat (maghrib), bila ruthab  tidak ada beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), bila tidak ada juga beliau berbuka dengan air.” (HR. Abu Dawud. Hakim menyatakan keshahihannya, sementara Tirmidzi menyatakan hasannya)[14]
Berbuka dengan ruthab amat bermanfaat untuk kesehatan lambung, terlebih setelah kita menahan lapar seharian sangat sesuai bila berbuka dengan ruthab atau kurma, agar lambung diperkuat terlebih dahulu sebelum dimasukkan makanan yang berat, dan khasiat kurma juga banyak sebagaimana yang disebutkan oleh para ahlinya.
Adab Ketiga: Membaca do’a berbuka puasa.
Do’a yang shahih adalah hadits ibnu Umar:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ».
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila telah bberbuka, beliau mengucapkan: “Telah hilang dahaga, dan telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insyaa Allah.”[15]
Adapun do’a yang terkenal di negeri kita, yaitu:                                                             
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَي رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Ya Allah aku berpuasa karenaMu, aku beriman kepadaMu, dan aku berbuka dengan rizkiMu, dengan rahmatMu wahai Dzat yang Maha kasih sayang.”
Ini adalah lafadz yang dibuat-buat dan tidak ada asalnya. Ya, ada riwayat yang menyebutkan, namun tidak ada tambahan: “wabika aamantu.” Juga tidak ada: “birohmatika yaa arhamarrahimin.” Yaitu hadits:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ : أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ :« اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ».
“Dari Mu’adz bin Zahroh sampai kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berbuka mengucapkan: “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu (Ya Allah aku berpuasa karenaMu, dan aku berbuka dengan rizkiMu).”
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu dawud (2360) dan lainnya, semuanya dari jalan Hushain bin Abdurrahman dari Mu’adz bin Zahroh. Dan sanad ini mempunyai dua cacat:
Pertama: Mursal, karena Mu’adz bin Zahroh bukan shahabat.
Kedua: Mu’adz bin Zahroh ini majhul, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Hushain ini. Ibnu Abi hatim menyebutkannya dalam kitab Al jarhu watta’dil namun beliau tidak menyebutkan celaan (jarh) tidak pula pujian (ta’dil).
Namun hadits ini mempunyai syahid dari hadits Anas dan ibnu Abbas. Adapun hadits Anas diriwayatkan oleh Ath Thbarani dalam Al Mu’jam Ash Shaghier (2/133 no 912) dan Al Ausath (7549) dari jalan Isma’il bin Amru Al bajali haddatsana Dawud bin Az Zabarqon haddatsana Syu’bah dari Tsabit Al bunani dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berbuka mengucapkan: “Bismillah Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.”
Sanad ini sangat lemah karena ada dua cacat:
Pertama: Isma’il bin Amru Al bajali dikatakan oleh Adz Dzahabi, “Ia dianggap lemah oleh banyak ulama.”
Kedua: Dawud bin Az Zabarqon. Al Hafidz ibnu hajar berkata dalam taqribnya: “Matruk dan dianggap pendusta oleh Al Azdi.”
Adapun hadits ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ad Daroquthni dalam musnadnya (2/185 no 26) dan lainnya dari jalan Abdul Malik bin Harun bin ‘Antaroh dari ayahnya dari kakeknya dari ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaibhi wasallam apabila berbuka mengucapkan: “Allahumma laka shumnaa wa ‘alaa rizqika afthornaa Allahumma taqobbal minna innaka antassami’ul ‘aliim.”
Sanad hadits ini sangat lemah juga, dalam sanadnya terdapat Abdul malik bin Harun, dikatakan oleh Adz Dzahabi dalam kitab diwan dlu’afa: “tarokuuh (para ulama meninggalkannya), As Sa’di berkata, “Dajjal.”
Karena dua syahid ini sangat lemah maka tidak dapat menguatkan hadits tersebut. Wallahu a’lam. Adapun tambahan “wa bika aamantu” dan “birohmatika yaa Arhamarrohimin” adalah tambahan yang tidak ada asalnya sama sekali. Allahul musta’an.

6.      Memberi makan untuk orang yang berbuka puasa
Memberi makan orang yang berbuka puasa adalah ibadah yang agung, sebagaimana dalam hadits:
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أجْرِهِ ، غَيْرَ أنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ                                    
“Barang siapa yang memberi makan untuk orang yang  berbuka puasa, maka ia memperoleh seperti pahalanya, dan  pahala bagi(yang menerima makanan) berpuasa tidak berkurang sedikitpun.” (HR. At-Tirmidzi)[16]
7.      Sahur
Sesungguhnya sahur adalah sunnah yang sangat ditekankan, dan ia mempunyai beberapa keutamaan, yaitu:
Pertama: Sahur adalah makanan yang berkah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السُّحُورِ بَرَكَة
“Bersahurlah karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari dan Muslim)[17]
Dalam hadits lain Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
الْبَرَكَةُ فِي ثَلَاثَةٍ: فِي الْجَمَاعَةِ، وَالثَّرِيدِ ، وَالسَّحُور
“Keberkahan ada pada tiga; berjama’ah, tsarid, dan sahur.” (HR. Ath Thabrani)
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ.
“Sesungguhnya Allah dan malaikatNya bershalawat atas orang-orang yang bersahur.” (HR. Ahmad)[18]
Ketiga: Sebagai pembeda antara puasa kaum muslimin dan puasa ahlul kitab.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر
“Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR Muslim)
Ø  Adab-adab sahur
Disana ada beberapa adab yang hendaknya kita perhatikan dalam bersahur, yaitu:
1.      Bersahur dengan kurma
نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْر
“Sebaik-baik makanan sahur bagi seorang mukmin adalah kurma.” (HR Abu Dawud dan lainnya)
2.      Mengakhirkan waktu sahur
Waktu sahur yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak jauh dari waktu fajar, sebagaimana dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit ia berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ : كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَبَيْنَ السُّحُورِ؟ قَالَ : قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
“Kami pernah bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas berkata, “Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur ?” Ia menjawab, “Sekitar membaca 50 ayat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dan itulah yan diamalkan oleh para shahabat setelahnya, Amru bin Maimun Al Audi berkata, “Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat bersahur.” Al hafidz ibnu Hajar ketika menjelaskan bab: “Ta’jil sahur.” Dalam shahih Bukhari berkata, “Maksudnya mempercepat makan sebagai isyarat bahwa dahulu sahur itu mendekati terbitnya fajar. Lalu beliau membawakan riwayat Imam Malik dalam muwatha’nya dari jalan Abdullah bin Abu bakar dari ayahnya berkata, “Dahulu selesai sholat malam kami bersegera makan sahur karena takut fajar menyingsing.”
Namun di zaman ini kita melihat penyimpangan dari sunnah dalam bersahur, kita melihat mereka bersahur sekitar jam satu atau jam dua malam. Tentunya fenomena ini sangat tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat serta para ulama setelahnya.
Ø  Hukum imsak
Ditambah lagi mereka mengada-adakan sebuah perkara baru, yaitu yang disebut dengan imsak, dengan melarang makan dan minum sekitar 10 menit sebelum fajar dengan alasan kehati-hatian. Padahal bila kita perhatikan, pengadaan imsak ini bertentangan dengan hadits, kaidah ushul fiqih dan apa yang difatwakan oleh para ulama.
Adapun hadits, Abu Dawud (no 2352) meriwayatkan dalam musnadnya dari jalan Hammad dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْه
“Apabila salah seorang dari kamu mendengar adzan sementara gelas masih ada di tangannya, janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya.”
Dan dalam riwayat Ahmad (2/510) dengan tambahan: “Dan muadzin beradzan ketika fajar telah menyingsing.” Tambahan ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan sebelum fajar.
Hadits ini mengecualikan keumuman ayat dalam surat Al Baqarah: 187 yang artinya: “Makan dan minumlah sampai menjadi jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar.” Bahkan sebagian shahabat ada yang berpendapat lebih dari ini, mereka memperbolehkan sahur sampai fajar benar-benar telah menjadi jelas dan terang, silahkan dirujuk kitab Fathul Bari 4/136-137.
Ketika seseorang ragu apakah telah masuk fajar atau belum, lalu ia makan dan ternyata fajar telah masuk, maka tidak batal puasanya, karena pada asalnya malam masih ada sampai ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa fajar telah menyingsing. Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata, “Allah menghalalkan makan dan minum sahur selama kamu masih ragu sampai kamu tidak merasa ragu.” HR Abdurrazzaq. Ibnul Mundzir berkata, “Ini adalah pendapat mayoritas ulama.” Jadi, kehati-hatian yang diklaim itu sebenarnya adalah was-was yang tidak boleh kita ikuti.
Adapun fatwa ulama, Al Hafidz ibnu Hajar Al ‘Asqolani rahimahullah berkata, “Termasuk bid’ah yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sebelum fajar menyingsing sekitar sepertiga jam, dan mematikan lampu-lampu untuk dijadikan tanda haramnya makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Mereka lakukan itu dengan alasan kehati-hatian dalam ibadah..
Yang terjadi di zaman Al Hafidz tersebut serupa dengan pengadaan imsak di zaman ini, karena sama-sama beralasan kehati-hatian dalam ibadah. Ya, kehati-hatian dalam beribadah adalah terpuji selama tidak terjerat dalam was-was dan menyelisihi sunnah.
8.      Umrah
Umrah di bulan Ramadhan mempunyai keistimewaan lebih dibandingkan dengan umroh di bulan lainnya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِيْ.
“Sesungguhnya umroh di bulan Ramadlan sama dengan haji bersamaku.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Ini tentunya adalah kesempatan yang besar untuk meraih pahala yang besar di sisi Allah, terutama bagi mereka yang diberikan keluasan harta oleh Allah Subhanahu wata’ala.
9.       I’tikaf
I’tikaf adalah ibadah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terutama di sepuluh terakhir bulan Ramadhan, Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada setiap bulan Ramadhan sepuluh hari. Ketika di tahun yang beliau meninggal padanya beliau beri’tikaf dua puluh hari lamanya.” (HR. Bukhari)
Waktu i’tikaf yang paling utama adalah sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ.
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai  Allah mewafatkan beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)[19]
          Tempat i’tikaf adalah masjid bukan di rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:             
وَأَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sementara kalian beri-tikaf di masjid-masjid.” (QS. Al Baqarah: 187)
Namun para ulama berpendapat apakah yang dimaksud masjid dalam ayat tersebut, sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hanya tiga masjid saja, berdasarkan hadits:
لَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَةِ.
“Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.”
Sedangkan (jumhur) mayoritas ulama berpendapat disyari’atkan i’tikaf di setiap masjid berdasarkan keumuman ayat di atas. Namun jumhur berselisihan masjid seperti apa yang diperbolehkan padanya i’tikaf, kebanyakan berpendapat masjid jami’ yaitu masjid yang ditegakkan padanya shalat jum’at.
Disunnah untuk masuk ke masjid setelah maghrib di tanggal dua puluh Ramadhan, dan masuk ke tempat i’tikaf setelah shalat fajar tanggal 21 Ramadlan, berdasarkan hadits Aisyah:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadlan, dahulu aku yang memasangkan kemah untuk beliau, beliau shalat shubuh lalu masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari)
Orang yang beri’tikaf hendaklah menjauhi dua perkara yang membatalkan i’tikafnya, yaitu keluar dari masjid dengan tanpa udzur syar’i dan berjima’ dengan istri. Dan hendaklah mereka yang beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan ketaatan seperti shalat, membaca Al Qur’an, istighfar, dan sebagainya serta tidak dilalaikan dengan sesuatu yang sia-sia.

10.   Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah kafarat (penebus) bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata yang tidak baik ketika ia berpuasa, ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِين
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin.” (HR. Abu dawud dan Ibnu Majah)[20]
Ia diwajibkan atas setiap kaum muslimin sebanyak satu sho’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ , وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى , وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ , وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr satu sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir (gandum), atas hamba sahaya dan merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan dewasa dari kaum muslimin, dan beliau memerintahkan agar zakat fithr dibagikan sebelum manusia keluar menuju sholat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Waktu pembagiannya yang wajib adalah sebelum sholat ‘ied sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits di atas. Namun diperbolehkan membayarnya sehari atau dua hari sebelum ied, Nafi’ berkata, “Ibnu Umar memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya, dan dahulu mereka membagikannya sebelum ‘iedul fitrah sehari atau dua hari.”. Adapun setelah sholat ‘ied maka pelakunya berdosa namun ia tetap wajib mengeluarkannya dengan ijma’ ulama, karena zakat fitrah adalah hak para hamba.
Pada asalnya zakat fitrah tidak boleh dibayar dengan uang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mewajibkan zakat fitrah dengan satu sho’ dari makanan, padahal di zaman beliau ada dinar dan dirham. Namun bila keadaannya darurat atau dibutuhkan atau ada kemashlahatan yang besar maka tidak mengapa dengan uang.
Adapun mustahiqnya hanya fakir miskin saja, karena zakat fitrah termasuk zakat badan bukan zakat harta, karena dalam hadits ibnu Abbas di atas disebutkan bahwa zakat fitrah berfungsi sebagai pensuci, ini menunjukkan bahwa ia adalah kafarat sehingga lebih serupa dengan membayar kafarat, sedangkan membayar kafarat itu hanya untuk fakir miskin saja, oleh karena itu ibnu Abbas menyebutkan bahwa zakat fitrah itu sebagai makanan untuk fakir miskin. Dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah.

11.  Memperbanyak berdo’a dan dzikir
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa do’a orang yang berpuasa itu dikabulkan, beliau bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ: دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ       
“Ada tiga do’a yang diijabah: do’a orang yang berpuasa, do’a musafir dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)[21]
Ini adalah kesempatan yang baik agar do’a kita diijabah oleh Allah subhanahu wata’ala, maka hendaklah seorang yang berpuasa banyak disibukkan dengan berdo’a kepada Allah dan juga berdzikir, agar lisan kita selamat dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Amalan-amalan pada bulan Ramadhan yang bisa dilakukan yaitu:
1.      Puasa Ramadhan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang berpuasa ramadhan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan Muslim)

2.      Qiyamullail Ramadhan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.   رواه البخاري ومسلم
Dari abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang qiyamulail di bulan ramadhan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Bukhari dan muslim

3.      Tadarus Al-Qur’an

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَافِعًا لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَة
“Bacalah Al Qur’an, sesungguhnya ia akan datang memberikan syafa’at kepada para pembacanya pada hari kiamat.”  (HR. Ahmad)

4.      Memperbanyak shodaqoh
َانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ
 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari dan   Muslim)
5.      Menyegerakan berbuka puasa
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْر
“Manusia (umat Islam) akan senantiasa berada di dalam kebaikan selama mereka bersegera berbuka puasa.”  (HR. Bukhari dan Muslim

6.      Memberi makan untuk orang yang berbuka puasa
َنْ فَطَّرَ صَائِماً ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أجْرِهِ ، غَيْرَ أنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ                         
“Barang siapa yang memberi makan untuk orang yang  berbuka puasa, maka ia memperoleh seperti pahalanya, dan  pahala bagi(yang menerima makanan) berpuasa tidak berkurang sedikitpun.” (HR. At-Tirmidzi)

7.      Sahur
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السُّحُورِ بَرَكَة
“Bersahurlah karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

8.      Umrah
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِيْ.
“Sesungguhnya umroh di bulan Ramadlan sama dengan haji bersamaku.”(HR. Bukhari dan Muslim)

9.      I’tikaf

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada setiap bulan Ramadhan sepuluh hari. Ketika di tahun yang beliau meninggal padanya beliau beri’tikaf dua puluh hari lamanya.” (HR. Bukhari)

10.  Zakat Fitrah
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِين
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin.” (HR. Abu dawud dan Ibnu Majah)

11.  Memperbanyak berdo’a dan dzikir

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ: دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ        
“Ada tiga do’a yang diijabah: do’a orang yang berpuasa, do’a musafir dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)





















DAFTAR RUJUKAN

-          Syafi’in Mansur, Falsafah Spiritual Ramadhan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007
-          Sayyid Sabiq , Fiqhus Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007Imam Malik, Tarjamah Muwaththa Al-Imam Malik,  Semarang: Asy-Syifa, 1992
-          Muhammad Ali Sabuni, Petunjuk Nabi Tentang Shalat Tarawih, Jakarta: Muria Putra Pressindo, 1999


[1] Muhammad Faiz Almath, op. Cit, hlm.98
[2] Sayyid Sabiq , Fiqhus Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007) cet II, Hlm. 25-26
[3]Ibid , hlm. 26
[4]
[5] Ibid, hlm. 65

[6] Ibid, hlm. 65
[7] Muhammad Ali Sabuni, Petunjuk Nabi Tentang Shalat Tarawih, (Jakarta: Muria Putra Pressindo, 1999), cet. I, hlm. 23
[8] Ibid, hlm. 23-24
[9] Imam Malik, Tarjamah Muwaththa Al-Imam Malik, (Semarang: Asy-Syifa, 1992), cet. I, Jilid I, hlm. 156
[10] Muhammad Faiz Almath, op. Cit, hlm. 21
[11] Sayyid Sabiq , Fiqhus Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007) cet II, Hlm. 25-26
[12] Drs. Syafi’in Mansur, Falsafah Spiritual Ramadhan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),  hlm. 76
[13] Sayyid Sabiq , Fiqhus Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007) cet II, hlm. 63
[14] Ibid, hlm. 63
[15] Ibid, hlm. 64
[16] Drs. Syafi’in Mansur, Falsafah Spiritual Ramadhan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),  hlm. 76
                       
[17] Sayyid Sabiq , Fiqhus Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007) cet II, hlm. 61
[18] Ibid, hlm. 61                            
[19] Drs. Syafi’in Mansur, Falsafah Spiritual Ramadhan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),  hlm. 141
                     
[20] Ibid, hlm. 146
[21] Ibid, hlm. 95-96